Rabu, 06 Maret 2013
Man JadDa WajaDaaa: jenis penelitian
Man JadDa WajaDaaa: jenis penelitian: Jenis-Jenis Penelitian Penelitian merupakan semua kegiatan pencarian, penyelidikan dan percobaan secara alamiah dalam suatu bidang terte...
ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
ISLAMISASI ILMU
PENGETAHUAN
BAB I
PENDAHULUAN
Sekularisme yang
dikembangkan oleh peradaban Barat membawa dampak yang kurang baik terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan bagi umat Islam. Sekularisasi yang memisahkan
agama dari politik serta penghapusan nilai-nilai agama dari kehidupan, tidak
hanya bertentangan dengan fitrah manusia, tetapi juga memutuskan ilmu dari
pondasinya dan mengalihkan dari tujuan ilmu yang sebenarnya. Islamisasi ilmu
pengetahuan merupakan konsep yang di dalamnya terdapat pandangan integral terhadap
konsep ilmu (epistemologi) dan konsep Tuhan (theology), Islam adalah agama yang
memiliki pandangan yang fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam
semesta, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus
peradaban.
Gagasan dan sejarah
islamisasi ilmu pengetahuan sebenarnya sudah terjadi semenjak permulaan Islam pada
9M dimana para sarjana muslim berhasil menterjemahkan, menyaring dan menyerap
serta memadukan ilmu asing kedalam pandangan Islam yang sesuai dengan
al-Qur'an. Namun, penyerangan Monggol yang dipimpin oleh Hulagu Khan ke Baghdad
yang memusnahkan perpustakaan dan pembakaran buku-buku karya sarjana muslim
membuat kemajuan tersebut terhenti. Pada saat dunia dikuasai oleh kemajuan
barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Negara-negara yang dahulu
termasuk dalam hegemoni islam mulai melepaskan diri dari islam dan berdiri
sendiri sebagai negara yang sepenuhnya berada di luar ideologi islam, negara
tersebut melepaskan diri dari islam karena islam tertinggal dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dalam umat islam timbul 3 sikap dalam menghadapi
ketertinggalan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (Abuddin, 2011;
404-405) yaitu; (1) sikap yang dirasakan bahwa ilmu pengetahuan yang berasal
dari barat sebagai ilmu pengetahuan sekular. Dalam membawa kemajuan islam maka
ilmu itu harus berdasarkan Alquran dan Al-sunnah. (2) ilmu pengetahuan dari
barat diterima sebagai ilmu pengetahuan yang netral. (3) sikap yang didasarkan
pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan barat itu sekular dan materialisme. Keadaan
ini menimbulkan kegelisahan beberapa pakar ilmuan islam, sehingga muncullah ide
untuk melakukan islamisasi ilmu pengetahuan pada abad 20M, Islamisasi merupakan
sebuah karakter dan identitas Islam sebagai pandangan hidup yang di dalamnya
terdapat pandangan integral terhadap konsep ilmu dan konsep Tuhan.
Ide
dalam islamisasi ilmu ini, pertama kali diperkenalkan oleh Sayid Husein Nasr,
seorang tokoh yang lahir di Teheran, Iran, 7 April 1933. Beliau menyadari akan
adanya bahaya sekularisme dan modernisme yang mengancam dunia Islam, karena
itulah beliau meletakkan asas untuk konsep sains Islam dalam aspek teori dan
praktikal melalui karyanya Science and
Civilization in Islam (1968) dan Islamic
Science (1976). Nasr membandingkan antara metodologi ilmu keislaman dan
ilmu umum. Menurutnya ilmu keislaman tidak hanya memakai metodologi rasional
dan cenderung positivistik, melainkan menerapkan juga metodologi rasional,
tekstual, dan berpikir intuitif sesuai dengan objek yang dikaji (Khudori, 2012;
250).
Gagasan
Nasr tersebut kemudian dikembangkan oleh Syed M. Naquib al-Attas pada tahun
1977 sebagai proyek "Islamisasi" yang mulai diperkenalkan pada
Konferensi dunia mengenai Pendidikan Islam yang pertama di Makkah, atas sponsor
Universitas King Abdul Aziz. Dalam pertemuan itu beliau menyampaikan makalah
yang berjudul "Preliminary Thoughts
on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education".
Ide ini kemudian disempurnakan dalam bukunya, Islam and Secularism (1978) dan The
concepts of Education in Islam A Framework for an Islamic Philosophy of
Education (1980). Al-Attas dianggap sebagai orang yang pertama kali
mengupas dan menegaskan tentang perlunya Islamisasi pendidikan, Islamisasi
sains, dan Islamisasi ilmu.
Dalam
menindaklanjuti pemikiran tersebut maka diadakan Konferensi di swiss tahun 1977
yang dihadiri 30 partisipan. Pada konferensi tersebut memberi pengaruh besar
terhadap para ilmuan muslin dunia. Di Amerika gerakan tersebut dipelopori oleh
Ismael Raji al-Faruqi, sehingga mendirikan IIIT (International Institute of Islamic Thought) tahun 1981, di
Washington. (International Islamic
University Malaysia) (IIUM), di Malaysia. (International Institute of Islamic Thought and Civilization) ISTAC
di Kuala Lumpur tahun 1981. Konferensi II diadakan di Islamabad, Pakistan tahun
1983. Sedangkan tahun 1984 di adakan konferensi III di Kuala Lumpur dan tahun
1987 diadakan konferensi IV di Khortum, Sudan. Konferensi tersebut menindaklanjuti
dari konferensi-konferensi sebelumnya dalam membahas islamisasi ilmu
pengetahuan.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana urgensi adanya islamisasi ilmu
pengetahuan?
2.
Siapa tokoh islamisasi ilmu pengetahuan?
3.
Bagaimana islamisasi ilmu pengetahuan?
4.
Bagaimana implikasi islamisasi ilmu
pengetahuan dalam pendidikan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Urgensi adanya Islamisasi Ilmu
Pengetahuan.
Islamisasi merupakan sebuah karakter dan identitas islam
sebagai pandangan hidup yang didalamnya terdapat pandangan integral terhadap
konsep ilmu (epistemology) dan konsep Tuhan (theology). Islam adalah agama yang
memiliki pandangan yang fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam
semesta, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus
peradaban. Beberapa hal yang menjadikan perlunya adanya islamisasi ilmu
pengetahuan yaitu;
1.
Dibidang politik, umat islam
terpecah-pecah, kekuatan barat telah berhasil memecah belah umat islam dan yang
berdiri sendiri, bahkan saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya.
2.
Dibidang ekonomi umat islam belum maju
dan terbelakang. Mayoritas anggotanya adalah orang-orang yang buta huruf.
Produksi barang masih jauh dibawah kebutuhan, sehingga harus impor, kekayaan
minyak yang berada di negara-negara islam tidak bisa mensejahterakan rakyat.
Para penguasa menghambur-hamburkan hasil minyak tersebut dan bahkan
menginvestasikannya ke negara non-muslim sehingga mampu membuat negara tersebut
menjadi kuat, sedangkan negara islam menjadi lemah dan rapuh karena ketidakstabilan
ekonomi.
3.
Dibidang kultural, kemerosotan kaum
muslimin telah menyebabkan berkembangnya buta huruf, kebodohan dan tahayyul. masyarakat
muslim melihat kemajuan barat sebagai sesuatu yang mengagumkan, sebagian kaum
muslimin tergoda oleh kemajuan barat dan berusaha melakukan reformasi dengan
jalan westernisasi. Tetapi ternyata jalan westernisasi telah menghancurkan islam
dari ajaran al-Qur’an dan hadis, karena berbagai pandangan dari barat, diterima
islam tanpa diikuti filter. Banyak generasi muda muslim yang berpendidikan
barat, telah memperkuat westernisasi dan sekulerisasi di lingkungan perguruan
tinggi.
Adanya
masalah-masalah yang dirasa memang perlu diperbaiki dari kondisi umat islam,
maka muncul pemikiran adanya islamisasi ilmu pengetahuan. Proses islamisasi
ilmu pengetahuan menjadi hal yang menarik karena menimbulkan beberapa perdebatan
golongan dengan adanya pemikiran tersebut.
Islamisasi ilmu pengetahuan menimbulkan perdebatan
dikalangan umat Islam. Pihak dengan penuh antusias dan optimisme menyambut gagasan
tersebut sebagai awal kebangkitan Islam. Namun dipihak lain menganggap bahwa
gerakan "Islamisasi" hanya untuk mengobati "sakit hati",
karena ketertinggalan yang sangat jauh dari peradaban Barat, sehingga gerakan
ini hanya membuang-buang waktu dan tenaga dan akan semakin melemah seiring
perjalanan waktu dengan sendirinya.
Islamisasi ilmu pengetahuan disambut oleh 4 golongan
dalam masyarakat yaitu Pertama,
golongan yang sependapat dengan gagasan ini secara teori dan konsepnya serta
berusaha untuk merealisasikan dan menghasilkan karya yang sejalan dengan maksud
Islamisasi dalam disiplin ilmu mereka. Kedua,
golongan yang sependapat dengan gagasan ini secara teori dan konsep tetapi
tidak mengusahakannya secara praktis. Ketiga,
golongan yang tidak sependapat dan sebaliknya mencemooh, mengejek dan
mempermainkan gagasan ini. Dan keempat,
golongan yang tidak mempunyai pendirian terhadap isu ini. Mereka lebih suka
mengikuti perkembangan yang dirintis oleh sarjana lainnya ataupun mereka tidak
memperdulikannya. Untuk golongan kedua dan keempat tidak terlalu memberikan
pengaruh terhadap perkembangan Islamisasi ilmu pengetahuan, yang akan dibahas pada
makalah ini adalah golongan pertama dan ketiga.
Menurut Dr.
Mohammad Arkoun, guru besar Islamic
Studies di Universitas Sorbon Prancis menyatakan keinginan dari para
cendekiawan muslim untuk melakukan islamisasi ilmu dan teknologi adalah
kesalahan (Abuddin, 2011; 407) karena hal ini hanya akan menjebak pada
pendekatan yang menganggap islam hanya semata-mata sebagai ideologi. Usep Fathuddin juga tidak setuju
terhadap islamisasi ilmu pengetahuan, menurutnya islamisasi ilmu bukanlah kerja
ilmiah, apalagi kerja kreatif. Umat islam membutuhkan ilmu untuk dikuasai dan digembangkan.
Islamisasi ilmu tidak berbeda dengan pembajakan atau pengakuan terhadap karya
orang lain. Islamisasi seperti kerja seorang tukang, jika ada seorang saintis
berhasil menciptakan atau mengembangkan suatu ilmu, maka orang Islam menangkap
dan mengislamkannya. Menurut Usep Fathuddin semangat islamisasi itu didasari
satu anggapan tentang keilmuan dan islam. Di dunia ini ada dua kebenaran yaitu
kebenaran ilmu dan kebenaran agama. Ilmu merupakan hal yang relatif, spekulatif
dan tidak pasti, sedangkan agama dianggap absolut, transendental dan pasti.
Dalam Mulyadhi (2007; 3) menyatakan seorang
fisikawan muda yang cukup terkenal di Universitas Quadiazam di Pakistan yaitu Parvez Hoodbhoy juga menolak adanya
islamisasi ilmu pengetahuan. Menurutnya tidak ada yang disebut ilmu islami, dan
semua upaya untuk mengislamkan ilmu akan mengalami kegagalan. Parvez Hoodbhoy
berpandangan bahwa sains itu bersifat universal. Katidaksetujuan tokoh yang
lain yaitu Fazlur Rahman (Khudori,
246; 2012) menurutnya tidak perlu ada islamisasi ilmu pengetahuan, karena semua
ilmu sudah “islam” tunduk dalam aturan sunnah Allah. Dalam hal ini yang
terpenting adalah menciptakan manusia yang tahu dan mengerti tentang
nilai-nilai islam dan kemanusiaan, sehingga mampu menggunakan ilmu pengetahuan
secara konstruktif-positif.
Pihak yang setuju adanya islamisasi ilmu pengetahuan
antara lain; AM. Saifuddin, menurutnya
islamisasi ilmu adalah suatu keharusan bagi kebangkitan islam, keringnya ilmu
pengetahuan dan tersingkirkannya pada posisi yang rendah merupakan sentral
kemunduran umat. Haidar Bagir, memandang
penting islamisasi ilmu pengetahuan, hal ini didukung oleh 3 argumentasi yaitu;
pertama, umat islam butuh sebuah
sistem ilmu pengetahuan yang memenuhi kebutuhan-kebutuhannya material dan
spiritual. Kedua, umat islam yang
tinggal di wilayah goegrafis dan memiliki kebudayaan yang berbeda dari barat,
jelas perlu sistem yang berbeda pula. Ketiga,
umat islam pernah memiliki peradaban islami dan kita punya alasan untuk
berharap menciptakan kembali sebuah sains islam dalam peradaban yang islami.
Filosof muda dari malaysia, Osman Bakar berpendapat bahwa islamisasi ilmu itu penting untuk
mencapai kemajuan ilmiah dan teknologi umat islam, serta mempertahankan dan
membentengi pandangan intelektual, moral dan spiritual umat islam. Dalam
islamisasi ilmu pengetahuan memerlukan kerjasama yang baik dan terbuka diantara para pakar
dari berbagai disiplin ilmu agar terwujud sebuah sains yang islami dan
menyelamatkan, hal ini diungkapkan oleh Hanna
Djumhana. Zainuddin Sardar
berpendapat islamisasi ilmu tidak sekedar sintesa ilmu-ilmu modern dengan
nilai-nilai islam tetapi dimulai dari aspek antologi membangun pandangan dunia
dengan titik pijak membangun epistemologi islam yang baru. Bagi ilmuan yang
setuju dengan islamisasi ilmu pengetahuan bukan berati tidak setuju untuk
membentuk ilmu pengetahuan dengan corak islam secara mandiri seperti yang
diungkapkan oleh ilmuan yang tidak setuju akan islamisasi ilmu pengetahuan,
tetapi bersamaan dengan itu dipandang tidak ada salahnya apabila mengambil ilmu
pengetahuan dari barat lalu mengislamkannya, seperti dahulu barat juga pernah
mengambil ilmu pengetahuan dari islam di zaman klasik kemudian menyesuaikannya
dengan ajaran barat.
Pendapat pro dan kontra dalam gagasan
konsep islamisasi ilmu pengetahuan antara tokoh tersebut bukan hal yang salah.
Kemajuan ilmu pengetahuan yang berkembang memang harus diwaspadai, sekularisme
peradaban barat yang memisahkan ilmu pengetahuan dan tuhan, jika dibawa dalam
ajaran islam kurang tepat, karena sumber utama ilmu pengetahuan itu berasal
dari Tuhan yang ada dalam Al-quran dan Al-hadist, sehingga islamisasi ilmu
pengetahuan diperlukan sebagai upaya memadukan ilmu pengetahuan dan Tuhan.
B.
Tokoh Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
1.
Naquib al-Attas
Nama
lengkap al-Attas adalah Syed Muhammad Naquib al-Attas yang lahir di Jawa Barat,
pada 5 september 1931. Pada usia 5 tahun al-Attas dibawa ke Johor, Malaysia
untuk dididik oleh saudara ayahnya Encik Ahmad kemudian Ny.Azizah yaitu seorang
mentri Besar Johor. Ketika penjajahan Jepang, al-Attas pulang ke Sukabumi, Jawa
Barat dan masuk pesantren al-Urwah
al-Wusta, belajar bahasa arab dan agama islam. Pada tahun 1946 Attas
kembali ke malaysia, ia masuk dan bersentuhan dengan pendidikan modern, English College, di Johor baru dan
kemudian masuk dinas militer di Easton
Hall, Chester, Inggris pada tahun 1952-1955. al-Attas keluar dari kemiliteran
dengan pangkat letnan karena ia lebih tertarik dengan dunia akademik.
Pada
tahun 1957-1959 al-Attas masuk ke University of Malay, Singapura dengan fokus
kajian pada teologi dan metafisika alam. al- Attas telah menulis dua buah buku.
Buku pertama adalah “Rangkaian Rubaiyat.”
Buku ini termasuk diantara karya sastra pertama yang dicetak oleh Dewan Bahasa
dan Pustaka, Kuala Lumpur, pada tahun 1959. Sedangkan buku kedua yang sekarang
menjadi karya klasik adalah “Some Aspects
of Sufism as Understood and Practiced among the Malays”, yang diterbitkan
oleh lembaga penelitian sosiologi Malaysia pada tahun 1963. Sedemikian
berharganya buku yang kedua ini, pemerintah Kanada melalui “Canada Counsel Fellowship” memberi al-Attas
beasiswa untuk melanjutkan studinya di McGill University, Kanada untuk kajian
islamnya sampai memperoleh gelar master pada tahun 1963, al-Attas mendapat
gelar M.A. dengan tesis yang berjudul “Raniri
and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh.”
Selanjutnya al-Attas menempuh program doktor pada shool of Oriental and
African Studies, Universitas London. Selama kurang lebih dua tahun (1963-1965)
atas bimbingan Prof. Martin Lings, al-Attas menyelesaikan perkuliahan dan
meraih gelar Ph.D (Philosophy Doctor) dalam bidang filsafat islam dan
kesusastraan melayu islam dengan disertasi yang berjudul Mistisisme Hamzah Fansuri dengan predikat cumlaude. Disertasi
tersebut telah dibukukan dengan judul “Mysticism
of Hamzah Fansuri”.
Al-Attas
setelah kembali dari London mengabdi sebagai dosen di University of Malay,
Singapura. Pada tahun 1970 al-Attas termasuk dalam pendiri Universitas
Kebangsaan Malaysia, 2 tahun kemudian ia diangkat menjadi guru besar dan diangkat sebagai dekan Fakultas Sastra
dan Kebudayaan Melayu di Perguruan Tinggi Malaysia tahun 1975. Pada tahun 1991
didirikannya ISTAC (The Internasional
Institut of Islamic Thaught and Civilization) al-Attas ditunjuk sebagai
direkturnya. al-Attas memiliki 26 karya yang terkenal dan juga mendapatkan
beberapa penghargaan atas semangat dan prestasi dalam pemikirannya.
2.
Ismail Raji al-Faruqi
Pada
1 januari 1921 di Jaffa, Palestina, Ismail Raji al-Faruqi dilahirkan. Pendidikan
dasarnya dilalui di College Des Frese, Libanon sejak 1926 sampai 1936 yang
menggunakan bahasa Prancis sebagai bahasa pengantarnya. Kemudian al-Faruqi melanjutkan
ke American University, Beirut jurusan Filsafat dengan gelar BA (Bachelor of Arts) pada tahun 1941, pada
umur 24 tahun al-Faruqi bekerja sebagai pemerintahan (PNS) yang kemudian
diangkat menjadi gubernur di propinsi Galelia, Palestina. Tahun 1949 al-Faruqi mendapat
gelar master dalam bidang filsafat di Universitas Indiana. Pada tahun 1952 al-Faruqi
mencapai gelar doktoral (Phd.) dari Universitas Indiana, Harvard dengan
desertasinya berjudul “On Justifying the
Gos: Metaphysic and Epistemology of Value”.
Pada
tahun 1959, al-Faruqi pergi ke Mesir untuk memperdalam ilmu keislaman di
Universitas Al-azhar, Kairo kemudian mengajar di McGill, Kanada dan akhirnya al-Faruqi
kembali ke Amerika pada tahun 1963 dan mengajar di Scholl of Devinity,
Universitas Chicago. Pada tahun 1968, al-Faruqi menjadi guru besar pemikiran
dan kebudayaan islam pada Temple University, disini al-Faruqi mendirikan Departemen Islamic Studies hingga akhir
hanyatnya. Dalam Zaenul (2002; 179) untuk mengenang jasa-jasa al-Faruqi maka,
Organisasi Masyarakat Islam Amerika Utara (ISNA) berusaha mendirikan The Isma’il and lamnya’ al-Faruqi Memorial
Fund, yang bermaksud melanjutkan cita-cita islamisasi ilmu pengetahuan yang
telah dicetuskannya. Karya al-Faruqi menurut Ensiklopedia Islam Indonesia ada
20 buku dan 100 artikel yang ditulisnya.
C.
Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Dalam
perkembangan islamisasi ilmu pengetahuan yang paling terlihat disisipkan ke
dalam sains barat modern adalah sekularisme. Akibat sekularisme pengetahuan
barat modern ada kelompok yang dirugikan yaitu; kelompok masyarakat yang
memiliki ikatan moral dengan ajaran agamanya, masyarakat muslim seolah dipaksa
untuk melaksanakan ajaran sekuler dalam seluk-beluk kehidupan, adanya
sekularisasi membuat semakin menjauhi nilai-nilai religius islam. Hal ini akan
menjauhkan umat islam pada hakikat kehidupannya sebagai manusia yang memiliki
Tuhan.
1.
Pandangan Islam tentang Ilmu Pengetahuan
Islam
tidak memisahkan pengetahuan dengan Tuhan, pengetahuan itu bukan hal yang bebas
nilai, karena hakikat manusia hidup adalah menjalankan fungsi sosialnya selain
menjalankan fungsinya sebagai hamba. Al-qur’an juga menjelaskan bahwa umat
islam supaya mencari ilmu pengetahuan dengan penelitian terhadap alam semesta
yang telah disediakan, terdapat dalam firman Allah (Q.S Al-mujadalah: 11)
“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantara kamu dan
orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat”. Dari ayat tersebut dalam islam
tidak ada dikotomi antara ilmu pengetahuan dan islam. Dalam islam, ilmu
merupakan salah satu perantara untuk memperkuat keimanan. iman hanya akan
bertambah dan menguat, jika disertai ilmu pengetahuan. Beberapa ilmu pengetahuan
dikatakan benar setelah melakukan penyelidikan, pengalaman, dan percobaan, yang
melakukan hal tersebut adalah manusia.
Manusia
sebagai makhluk pencari kebenaran. Menurut kuntowijoyo (2006; 4) teori
kebenaran yang populer dikalangan praktisi adalah pragmatisme. Pokok dari teori kebenaran pragmatisme yaitu
kepercayaan itu benar kalau dan hanya berguna. Ukuran dari teori kebenaran
adalah apakah suatu kepercayaan dapat mengantarkan orang kepada tujuannya.
Pragmatisme menolak pandangan kebenaran menurut kaum rasionalis dan idealis,
karena pengalaman mereka tidak berguna dalam kehidupan yang praktis. Islam
memandang kebenaran ialah apa saja yang datang dari Tuhan baik yang berguna
atau tidak sekarang ini dalam kehidupan yang praktis. Suatu hal dikatakan benar
apabila sesuai dengan ajaran agamanya atau wahyu sebagai penentu kebenaran
mutlak (Amsal, 2004; 121). Seperti yang dilakukan Al-Ghazali yang tidak puas
dengan penemuan-penemuan akalnya dalam mencari kebenaran, akhirnya Al-Ghazali
melandaskan kebenaran pada agama yaitu tasawuf untuk menghilangkan keraguan
segala sesuatunya.
Al-Ghazali
menganalisis pengetahuan berdasarkan 3 kriteria yaitu (Samsul,2009; 229), pertama adalah Sumber. Pengetahuan dilihat dari pengetahuan yang diwahyukan
(diperoleh oleh nabi dan rasul) dan pengetahuan yang tidak diwahyukan (ilmu
pengetahuan). Kedua adalah Kewajiban. Kewajiban dibagi menjadi pengetahuan yang diwajibkan kepada setiap
orang/penting untuk keselamatan seseorang (etika sosial, hukum sipil) dan
pengetahuan yang diwajibkan kepada masyarakat/penting untuk keselamatan seluruh
masyarakat (pertanian, arsitektur) dan ketiga
merupakan Fungsi sosial. Terdiri
dari ilmu yang patut dihargai (ilmu sains) dan ilmu yang patut dikutuk (ilmu
perang). Dari pernyataan Al-Ghazali tersebut agama dan sains bukan merupakan
hal yang saling terpisah. Manusia dalam memperoleh kebenaran ilmu pengetahuan
terdapat pula kesadaran akan keabadian pengetahuan yang diperoleh dari wahyu,
pelaksanaan ilmu pengetahuan tersebut harus didasari nilai-nilai dengan harapan
ilmu pengetahuan tersebut dapat digunakan semestinya supaya selamat.
2.
Pengertian islamisasi ilmu pengetahuan
Menurut
Attas (Mujamil, 2005; 116) islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari
penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler dan dari
makna-makna serta ungkapan manusia sekuler. Al-Attas mengartikan islamisasi
ilmu sebagai upaya untuk mengenali, memisahkan dan mengasingkan unsur-unsur
peradaban barat yang dualistik, sekularistik dan evolusioneristik yang pada
dasarnya bersifat relativistik dan nihilistik, dari tubuh pengetahuan, sehingga
pengetahuan bersih dari unsur-unsur tersebut (Khudori, 2012; 258). Dengan islamisasi
ilmu pengetahuan, umat islam akan terbebaskan dari belenggu hal-hal yang
bertentangan dengan islam, sehingga timbul keharmonian dan kedamaian dalam
dirinya sesuai dengan fitrahnya. Ilmuan-ilmuan barat dalam mendasari ilmu
pengetahuannya dikenal sangat rasional, tetapi masih ada kelemahan hasil
pemikiran mereka jika dilihat dari perspektif pesan-pesan islam. Islamisasi
ilmu pengetahuan ini memiliki tujuan (Mujamil, 2005; 116) yaitu, untuk
meluruskan pemikiran-pemikiran orang islam dari penyelewengan sains modern yang
sengaja ditanamkan barat.
Menurut
Ismail R. al-Faruqi (Samsul, 2009; 235) islamisasi ilmu pengetahuan adalah
mengislamkan disiplin-disiplin ilmu atau lebih tepat menghasilkan buku-buku
pegangan pada level universitas dengan menuangkan kembali disiplin ilmu modern
dengan wawasan islam. Islamisasi ilmu
pengetahuan merupakan usaha untuk memfokuskan kembali ilmu, menyusun ulang
data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data
itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan
disiplin ilmu yang ditujukan memperkaya visi dan perjuangan islam.
Istilah
islamisasi adalah membawa sesuatu ke dalam islam atau membuatnya dan
menjadikannya islam. Definisi ini bukan berarti islam tidak bersifat universal,
tapi lebih berarti bahwa di luar islam ada berbagai macam hal yang jauh dari
nilai-nilai islam. Dari sini istilah islamisasi merupakan gambaran universal
sebagai langkah atau suatu usaha untuk memahamkan sesuatu dengan kerangka islam
(Islamic framework) dengan memasukkan
suatu pemahaman islam untuk pemahaman atau sesuatu yang jauh dari nilai islam
tersebut, ketika masuk dalam wilayah islam dibutuhkan adanya upaya yang disebut
sebagai Islamisasi. Substansi dari islamisasi ilmu pengetahuan adalah
meletakkan prinsip-prinsip tauhid sebagai landasan epistemologi ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan dari barat tidak dimbil dengan mentah tetapi
disesuaikan dengan islam.
3.
Konsep dan langkah-langkah islamisasi
ilmu pengetahuan
a.
Al-Faruqi
Perkembangan
ilmu pengetahuan dari barat, sesuatu yang memang dipandang hebat tetapi menurut
Faruqi itu juga mengerikan, karena sains modern telah melepaskan diri dari
nilai-nilai teologis. Dalam Khudori (2012; 274-275) Lepasnya nilai-nilai
teologis dalam sains modern telah memberikan implikasi negatif, yaitu; (1)
dalam aplikasinya sains modern melihat alam
beserta hukum dan polanya, termasuk manusia sendiri hanya sebagai
material dan insidental yang eksis tanpa interfensi Tuhan, manusia bisa
mengeksploitir kekayaan alam tanpa perhitungan. (2) secara metodologis, sains
modern tidak bisa diterapkan untuk memahami realitas sosial masyarakat muslim
yang mempunyai pandangan hidup berbeda di barat.
Keilmuan
islam yang bersentuhan dengan nilai-nilai teologis dianggap terlalu
berorientasi pada religiusitas dan
spiritualitas tanpa memperdulikan betapa pentingnya ilmu-ilmu sosial dan
kealaman yang dianggap sekuler. Menurut Faruqi model pendidikan masyarakat
islam dipolakan menjadi 3 kategori; (1) Sistem pendidikan tradisional yang hanya mempelajari ilmu-ilmu keislaman secara
sempit, sisi hukum dan ibadah. Di Indonesia ditunjukkan pada model pendidikan
salaf di pesantren. (2) Sistem pendidikan yang menekankan ilmu-ilmu sekular dari barat. Sehingga menjadikan
kecenderungan bersikap sekularistik-materialistik dan antagonistik terhadap
ilmu-ilmu religius. (3) Sistem pendidikan konvergensif
yang memadukan sistem pertama dan kedua. Kenyataan yang terjadi sistem
pendidikan tradisional dan sekular hanya disandingkan, sehingga belum
memberikan dampak yang positif.
Dalam
gagasan tentang islamisasi ilmu, al-Faruqi meletakkan pondasi epistemologinya
pada “prinsip tauhid” yang terdiri lima macam kesatuan (Khudori, 2012;
277-279).
1)
KeEsaan Tuhan. Tidak ada Tuhan selain
Allah yang menciptakan dan memelihara semesta. Islamisasi ilmu mengarahkan
pengetahuan pada kondisi analisa dan sintesa tentang hubungan realitas yang
dikaji dengan hukum Tuhan.
2)
Kesatuan Ciptaan. Semesta alam ini saling keterkaitan untuk
saling melengkapi dalam hukum alam, Tuhan juga menundukkan alam semesta untuk
manusia, sehingga manusia bisa memanfaatkannya.
3)
Kesatuan kebenaran dan pengetahuan.
Kebenaran bersumber dari realitas, jika semua realitas berasal dari Tuhan, maka
kebenaran itu tidak mungkin lebih dari satu yaitu berasal dari Tuhan.
4)
Kesatuan hidup. Menurut Faruqi, kehendak Tuhan terdiri dari
hukum alam dan hukum moral. Keduanya berjalan seiring, senada dan seirama.
5)
Kesatuan manusia. Tata sosial islam,
menurut Faruqi adalah universitas, mencakup seluruh umat manusia tanpa
terkecuali.
Islamisasi
ilmu tersebut dimaksudkan untuk memberikan respon positif terhadap realitas
ilmu pengetahuan modern yang sekular dan islam yang "terlalu"
religius, dalam model pengetahuan baru yang utuh dan integral tanpa pemisahan
diantaranya.
Dalam
proses islamisasi ilmu pengetahuan al-Faruqi memberikan beberapa
langkah-langkah yaitu;
1)
Penguasaan disiplin ilmu modern,
penguasaan kategoris. ilmu modern yang berkembang saat ini berada di tangan
bangsa sekuler, sehingga kita perlu mengetahui prinsip konsep, metodologi,
masalah, dan tema ilmu pengetahuan itu mengajarkan kepada ketauhidan atau tidak.
2)
Survei disiplin ilmu. Setiap disiplin
ilmu modern disurvei dan ditulis mengenai asal-usul, perkembangannya, metodologinya,
keluasan wawasannya, tokohnya untuk mengetahui keseluruhan tentang ilmu
tersebut.
3)
Menguasai khazanah islam, sebuah
antologi. Mencari sampai sejauh mana khazanah Islam menyentuh dan membahas
objek disiplin ilmu modern.
4)
Penguasaan khazanah ilmiah islam tahap
analisa. Menganalisis kahazanah islam dengan latar belakang historis dan
kaitannya dengan berbagai bidang kehidupan manusia.
5)
Penentuan relevansi islam yang khas
terhadap disiplin-disiplin ilmu. disiplin ilmu pengetahuan modern beserta
metodologi-metodologi dasar, prinsip, masalah, tujuan dan harapan, kejayaan dan
batasan-batasannya, semuanya harus dikaitkan dan kepada warisan islam serta
disesuiakan dengan islam.
6)
Panilaian kritis terhadap disiplin keilmuan
modern dan tingkat perkembangannya dimasa kini.
7)
Panilaian kritis terhadap khazanah islam
dan tingkat perkembangannya dewasa ini.
8)
Survey permasalahan yang dihadapi umat islam.
9)
Survei permasalahan yang dihadapi
manusia.
10)
Analisa kreatif dan sintesa. Membentuk
sebuah lompatan yang kreatif yang bernafaskan islam yaitu, suatu metodologi
baru harus dicetuskan untuk mengembalikan supremasi islam di dunia sebagai
pendongkrak dan penyelamat peradaban manusia.
11)
Penuangan kembali disiplin ilmu modern
ke dalam kerangka islam, buku-buku dasar tingkat universitas.
12)
Penyebaran ilmu-ilmu yang telah
diislamkan.
Menurut al-Faruqi hal lain yang dapat dilakukan
dalam mempercepat islamisasi pengetahuan
adalah dengan mengadakan konferensi dan seminar untuk melibatkan berbagai ahli
di bidang-bidang ilmu yang sesuai dalam merancang pemecahan masalah-masalah
antar disiplin ilmu. pertemuan tersebut juga harus menjajaki persoalan metode
yang diperlukan dalam islamisasi ilmu pengetahuan.
b.
Naquib al-Attas
Gagasan islamisasi ilmu Attas
merupakan respon intelektualnya terhadap efek negatif ilmu modern (barat) yang
semakin tampak dan dirasakan masyarakat dunia, Attas berpendapat hal ini akibat
dari adanya krisis dalam basis ilmu barat. Pandangan barat bersifat dualistik
karena kenyataan bahwa peradaban barat tumbuh dari peleburan historis dari
berbagai negara. Panduan dari unsur-unsur yang berbeda tersebut telah dibentuk
dan dipolakan kembali untuk disesuaikan dengan pola kebudayaan barat. Dilebur
dan dipadukan dengan semua unsur yang membentuk watak serta kepribadian barat.
Dominasi pengetahuan barat yang
sekuler dalam perkembangannya menjelma dalam ilmu pengetahuan dan teknologi
yang dehumanistik telah menjadikan manusia hanya sebagai objek rekayasa ekonomi
dan politik pada elit masyarakat yang tidak terkendali. Al-attas menyakini umat
islam akan terbebas dari berbagai kesalahan nilai yang berasal dari
sekularisasi pengetahuan barat tersebut hanya dengan proses islamisasi ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dalam Badaruddin (2009; 65) al-Attas berpendapat
jika konsep islamisasi ilmu pengetahuan hanya sekedar mengejar berbagai
ketertinggalan umat muslimin dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka
reformulasi dan reformasi yang dimaksud itu tidaklah menyentuh persoalan yang
mendasar.
Al-attas mencoba menyandarkan
landasan pengetahuannya di atas formula dalam islam. Ilmu pengetahuan dapat
diperoleh manusia melalui proses intuitif, karena semua yang tampak dan merupakan
realitas adalah Tuhan, maka ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia adalah
tafsiran terhadap pengetahuan dari Tuhan. Objek dari pengetahuan itu menurut al-Attas
adalah makna dari adanya, dan bukan adanya pengetahuan itu sendiri. Hal ini
berbeda dengan realita yang ada di mana ilmu pengetahuan itu menghendaki
pendekatan-pendekatan epistemologi positivistik dan empiris.
Sedangkan dalam prosesnya, langkah islamisasi
yang dicanangkan oleh al-Attas yaitu:
1)
Mengisolisir unsur-unsur dan
konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat. Unsur-unsur
tersebut terdiri dari;
a) Akal
diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia.
b) Bersikap
dualistik terhadap realitas dan kebenaran.
c) Menegaskan
aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler.
d) Membela
doktrin humanism.
e) Menjadikan
drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi
kemanusiaan.
Unsur-unsur tersebut harus dihilangkan dari setiap
bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan
humaniora.
2)
Memasukan elemen-elemen islam dan
konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang
relevan. Ilmu hendaknya diserapkan dengan unsur-unsur dan konsep utama islam
setelah unsur-unsur dan konsep pokok dikeluarkan dari setiap ranting.
Dari penjelasan tersebut berarti prosesnya islamisasi
ilmu menurut al-Attas, melibatkan dua langkah utama yang saling berhubungan: pertama, proses mengeluarkan unsur-unsur
dan konsep-konsep penting Barat dari suatu ilmu, dan kedua, memasukkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama Islam ke
dalamnya.
c.
Metodologi islamisasi ilmu pengetahuan
Dalam Abuddin (2001; 419-428) dijelaskan beberapa
pendekatan dalam aplikasi islamisasi ilmu pengetahuan yaitu;
1.
Islamisasi dapat dilakukan dengan cara
menjadikan islam sebagai landasan penggunaan ilmu pengetahuan, tanpa
mempermasalahkan aspek ontologis dan epistemologi ilmu pengetahuan tersebut.
2.
Islamisasi ilmu pengetahuan dan
teknologi dapat dilakukan dengan cara memasukkan nilai-nilai islami ke dalam
konsep ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut.
3.
Islamisasi ilmu pengetahuan dan
teknologi dilakukan melalui penerapan konsep tauhid dalam arti seluas-luasnya.
Hakikatnya seluruh ilmu itu dari Allah, oleh karenanya ia harus diabdikan untuk
beribadah kepada Allah melalui pengabdian terhadap kepentingan dan kemaslahan
umat manusia.
4.
Islamisasi ilmu pengetahuan dapat pula
dilakukan melalui inisiatif pribadi melalui proses pendidikan yang diberikan
secara berjenjang dan berkesinambungan.
5.
Islamisasi ilmu pengetahuan dengan cara
melakukan integrasi antara dua paradigma agama dan ilmu yang seolah-olah
memperlihatkan perbedaannya. Ilmu dikatakan sebagai relatif, spekulatif dan
tidak pasti, sedangkan agama dianggap absolut, transedental dan pasti.
Itulah
beberapa langkah dalam proses islamisasi ilmu pengetahuan. Dalam beberapa hal,
antara al-Attas dengan al-Faruqi mempunyai kesamaan pandangan, seperti pada
tataran epistemologi mereka sepakat bahwa ilmu tidak bebas nilai (value free) tetapi terikat (value bound) dengan nilai-nilai yang
diyakini kebenarannya. Mereka juga sependapat bahwa ilmu mempunyai tujuan yang
sama yang konsepsinya disandarkan pada prinsip metafisika, ontologi,
epistemologi dan aksiologi dengan tauhid sebagai kuncinya. Mereka juga meyakini
bahwa Allah adalah sumber dari segala ilmu.
Ilmu
pengetahuan akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga
islamisasi ilmu pengetahuan akan terus dilakukan. Di era globalisasi saat ini ada
beberapa model islamisasi pengetahuan yang bisa dikembangakan (Indra, 2009)
yaitu (1) Purifikasi yaitu pembersihan
atau pensucian. Islamisasi berusaha melakukan pembersihan ilmu pengetahuan agar
sesuai dengan nilai dan norma islam. Model ini berasumsi bahwa dapat dilihat
dari dimensi normatif-teologis. Doktrin islam pada dasarnya mengajarkan kepada
umatnya untuk memasuki islam secara khaffah sebagai lawan dari berislam secara
parsial. (2) Modernisasi yaitu
proses perubahan menurut fitrah atau sunatullah. Umat Islam harus memahami lebih
dahulu hukum yang berlaku dalam alam, yang nantinya akan melahirkan ilmu
pengetahuan untuk menjadi modern. Menjadi modern berarti ilmiah, rasional, progresif
dan dinamis. Islamisasi ilmu pengetahuan yang ditawarkan oleh modernisasi islam
adalah membangun semangat umat islam untuk selalu modern, maju, progresif, dan
terus melakukan perbaikan bagi diri dan masyarakatnya agar terhindar dari
keterbelakangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (3) Model neo-modernisme berusaha memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai
dasar yang terkandung dalam Al-quran dan sunnah dengan mempertimbangkan
khazanah intelektual muslim klasik serta mencermati kesulitan dan kemudahan
yang ditawarkan oleh dunia iptek. Jargon yang sering diungkapkan adalah
“memelihara kebaikan di masa lalu dan mengambil kebaikan yang baru”.
Para
ahli telah berusaha dengan berbagai langakah dan metode dalam islamisasi ilmu
pengetahuan. Walaupun ada beberapa langkah yang dilakukan berbeda, itu sebagai
pelengkap dari langkah-langkah yang lain. Islamisasi ilmu pengetahuan dilakukan
agar manusia tidak terjebak dalam sekularisme barat.
D.
Implikasi Islamisasi Ilmu Pengetahuan
dalam Pendidikan
Islamisasi
ilmu pengetahuan tidak cukup hanya menjadi sebuah kajian, publikasi dari hasil kajian
merupakan langkah dalam menyebarluaskan islamisasi ilmu pengetahuan ke pada
masyarakat luas untuk dikenal. Menyebarkan karya-karya disiplin ilmu yang telah
diislamisasikan melalui seminar atau dunia pendidikan adalah upaya agar hasil
kajian tidak menjadi hal yang sia-sia. Implikasi islamisasi ilmu pengetahuan
dalam dunia pendidikan dapat dilakukan melalui beberapa aspek yaitu (Samsul,
2009: 271-274);
1.
Aspek kelembagaan
Islamisasi
dalam aspek kelembagaan yaitu penyatuan dua sistem pendidikan, pendidikan islam
dan pendidikan umum (sekuler). Implikasi islamisasi ilmu pengetahuan pada aspek
kelembagaan adalah terbentuknya lembaga independen yang mengintegrasikan
pengembangan keilmuan agama dan umum, meskipun dalam tatanan sistematika
keorganisasian lembaga mengadopsi dari barat, namun secara substansi menerapkan
sistem islam. Pengintegrasian lembaga tidak hanya terkait dengan masalah
keilmuan, secara administratif pengelolaan lembaga pendidikan mengacu pada sistem manajemen pendidikan islam.
2.
Aspek kurikulum
Pengembangan
kurikulum memperbolehkan adanya pengadopsian dari buku-buku barat, tetapi
memberikan prinsip dan prioritas utama yang bersumber dari al-qur’an dan sunah.
Implikasi islamisasi ilmu pengetahuan dalam kurikulum harapnnya lembaga
tersebut memiliki kurikulum yang aktual, responsif terhadap permasalahan
kontemporer serta menghasilkan lulusan yang visioner, berpandangan integratif,
proaktif dan tanggap terhadap masa depan dan tidak dikotomistik dalam keilmuan.
3.
Aspek pendidik
Seorang
pendidik dituntut memiliki kemampuan substantif berupa penguasaan dua segi
keilmuan yaitu ilmu agaman dan ilmu modern. Pendidik juga diharapkan memiliki
kemampuan substantif berupa multiskill
didaktis, kemampuan yang mencakup keterampilan dalam menggunakan metode dan
strategi pembelajaran, pengelolaan atau manajemen pendidikan, pengevaluasian
yang semuanya bertumpu pada unsur tauhid.
Agama
atau di sini islam tidak hanya dipahami dari suatu pendekatan saja, tetapi
harus dianalisis menggunakan pendekatan yang komprehensif, supaya islamisasi
itu berjalan secara menyeluruh. Menurut Yatimin (2006; 163) islam memandang
bahwa kehidupan yang harus dilakukan manusia adalah hidup seimbang, tidak
terpisahkan antara kehidupan akhirat dan kehidupan dunia. Ilmu-ilmu keislaman
selama ini terkesan terturtup, sebenarnya tetap konsis dapat diaktualisasikan
dan dikembangkan sesuai tuntutan zaman, dalam mengembangkan ilmu keislaman
harus melengkapi diri dengan ilmu bantu dan menguasai teori-teori penelitian
lengkap dengan metodenya, baik secara teoritis ataupun praktis.
BAB III
PENUTUP
Perkembangan pengetahuan
dan ilmu yang tersebar di dunia, telah diwarnai corak budaya dan peradaban barat.
Kebenaran dan realitas dalam pandangan barat tidak diformulasikan atas dasar
pengetahuan wahyu dan keyakinan, melainkan atas tradisi budaya didukung dengan
premis-premis filosofis yang didasarkan pada spekulasi atau
perenungan-perenungan, terutama yang berkaitan dengan kehidupan duniawi yang
berpusat pada manusia, sebagai makhluk fisik dan sekaligus sebagai makhluk
rasional. Beberapa kesimpulan dari pembahasan makalh tersebut yaitu;
1.
Urgensi adanya ilmu pengetahuan dilihat
dari kondisi umat islam dalam bidang politik, kultur dan ekonomi. Gagasan
islamisasi ilmu pengetahuan menimbulkan empat golongan yaitu (1) golongan yang
sependapat secara teori dan konsepnya serta berusaha untuk merealisasikan dan
menghasilkan karya. (2) golongan yang sependapat dengan gagasan ini secara
teori dan konsep. (3) golongan yang tidak sependapat dan sebaliknya mencemooh,
mengejek dan mempermainkan gagasan ini. (4) golongan yang tidak mempunyai
pendirian terhadap isu ini. Mereka lebih suka mengikuti perkembangan yang dirintis
oleh sarjana lainnya ataupun mereka tidak memperdulikannya.
2.
Tokoh yang terkenal yang dalam
islamisasi ilmu pengetahuan adalah al-attas dan al-faruqi, walaupun masih ada
beberapa tokoh dalam islamisasi ilmu pengetahuan.
3.
Ilmu pengetahuan yang akan diislamkan
melalui beberapa proses, langkah-langkah dan metodologi. Hal ini dilakukan
untuk benar-benar menjaga kehati-hatian dalam islamisasi ilmu pengetahuan.
4.
Islamisasi ilmu pengetahuan supaya
bermanfaat tidak hanya menjadi sebuah kajian saja, tetapi dapat disebarkan
luaskan lewat seminar atau dunia pendidikan. Dalam dunia pendidikan islamisasi
ilmu pengetahuan dapat dilakukan lewat aspek kelembagaan, aspek kurikulum dan
aspek pendidik.
DAFTAR
PUSTAKA
Abuddin,
Nata. 2011. Metodologi studi islam.
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Amsal,
Bakhtiar. 2004. Filsafat ilmu.
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Indra. 2009. http://indramunawar.blogspot.com/2009/03/islamisasi-ilmu
pengetahuan.html. diambil 16 Desember 2012
Kemas,
Badaruddin. 2009. Filsafat pendidikan
islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Khudori,
Soleh. 2012. Wacana baru filsafat islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai ilmu epistemologi, metodologi dan etika. Yogyakarta:
Tiara Wacana
Mujamil,
Qomar. 2005. Epistemologi pendidikan
islam. Jakarta: Erlangga
Mulyadhi,
Kartanegara. 2007. Mengislamkan nalar.
Jakarta: Erlangga
Samsul,
Nizar. 2009. Sejaran pendidikan islam.
Jakarta: Kencana
Yatimin,
Abdullah. 2006. Studi islam kontemporer.
Jakarta: Amzah
Zaenul,
Arifin. 2002. Moralitas al-Quran dan
tantangan modernitas. Yogyakarta: Gama Media
Langganan:
Postingan (Atom)